Ilustrasi seseorang bahagia atas sesuatu yang diraihnya. (Sumber: Pexels)

Oleh: Risma Kholiq

Setelah melihat hasil pengumuman Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi (SBMPTN) tahun ini, membuat dirimu ingin gap year dan mencoba lagi di tahun berikutnya. Hal ini disebabkan karena keinginanmu yang kekeh ingin masuk di jurusan sastra Inggris tanpa jalur mandiri.

Dan memang jauh dari sebelum ujian dilaksanakan kamu sudah bertekad, apabila tidak lulus tahun ini akan gap year dan melakukan ujian lagi di tahun yang akan datang. Entah hal apa yang membuat dirimu itu melakukan hal tersebut. 

Padahal kamu dapat terus mencoba selagi jalur mandiri itu dibuka dan jurusan yang diinginkan juga ada. Begitupun teman di sekitar, terus menyarankan agar mencoba jalur mandiri di berbagai universitas. Tapi, dirimu menolak saran-saran itu.

“Kenapa kamu gak coba dulu sebelum kamu benar-benar ingin gap year?” tanya temanmu. Kamu hanya tertawa dengan tak bersuara dan bilang tak apa. Walaupun begitu, temanmu tetap membujuk menyemangati agar terus berusaha bersama agar kamu tidak gap year.

Namun, putusan yang ditetapkan sudah bulat dan pendaftaran jalur mandiri pun usai. Kini, kamu benar-benar gap year. Di bulan pertama teman-temanmu masuk kuliah dan melihat story media social mereka, muncul perasaan dari lubuk hati yang dalam ingin kuliah. 

Ditambah ketika kumpul bersama, sepanjang pembicaraan kamu hanya mendengarkan pengalaman temanmu di awal perkuliahan. Membuat dirimu tidak senang melihat kebahagiaan mereka dan diam seribu bahasa. 

Di lubuk hati yang paling dalam, kamu rendah diri dan sedih saat kumpul seperti itu. Tampak asing tentang dunia perkuliahan. Belum lagi berbagai pertanyaan yang dilontarkan kepada dirimu.

Kamu hanya tersenyum kecil sambil menahan sedih saat perkumpulan itu. Melihat ekspresi kamu seperti itu, satu temanmu berusaha agar mengalihkan pembicaraan supaya tidak merasa asing dan canggung saat itu. 

Kini, temanmu itulah yang menemani perjalananmu selama satu tahun ke depan untuk persiapan SBMPTN. Hal itu membuat dirimu semangat kembali untuk belajar dengan giat demi menghadapi ujian masuk perguruan tinggi tahun depan.

 Tidak terasa satu tahun pun berlalu, kamu mulai melakukan pendaftaran untuk pemilihan universitas dan jurusan yang diinginkan. Tekadmu masih sama, yaitu tetap memilih jurusan sastra Inggris.

Temanmu juga selalu mengingatkan untuk tidak lupa melakukan pendaftaran. Dan menyarankan dirimu agar yakin akan pilihanmu itu, sehingga diakhir nanti tidak merasa kesulitan dan menyesal karena salah pilih jurusan.

“Kamu udah yakin sama pilihanmu?” tanya temanmu.

“In syaa Allah udah,” jawabmu.

“Oke, semangat yaa. Isi jawaban sebisa kamu dulu, sekiranya soal itu susah lewatin dulu aja ya,” saran temanmu.

“Siap, terima kasih. Doain ya semoga diberikan kelancaran dan mendapatkan hasil yang diharapkan, aamiin…,” ujarmu.

“Aamiin…,” sahut temanmu.

Hari ujian pun tiba, kamu mendapatkan penempatan ujian di Fakultas Psikologi, Universitas Indonesia. Setelah ujian selesai, kamu menghubungi temanmu itu dan bercerita bahwa kamu pesimis akan hasilnya nanti.

Tapi temanmu terus meyakinkan untuk tetap optimis. Karena kamu sudah berusaha, berdoa, dan berikhtiar. Serta menyuruhmu untuk terus berdoa hingga hasil pengumuman nanti.

Tidak terasa hari ini adalah harimu yang menegangkan. Di mana kamu menunggu hasil jerih payahmu selama satu tahun. Dalam tutur katamu terlihat tenang, tapi hati dan pikiranmu berkata sebaliknya. Hatimu berdebar dan pikiranmu kacau balau.

Dari tutur dan gerak-gerik yang kamu tunjukkan menggambarkan kegelisahan. Akankah kamu dapat memberikan kabar baik? Atau sebaliknya.

Pikiran itu membuatmu khawatir, tidak tenang, dan gundah gulana. Ingin membuka portal hasil pengumuman, tapi ragu untuk melihat hasilmu. Karena, teman-teman seperjuanganmu sudah melihat hasil pengumuman tersebut.

Ada yang mendapatkan kabar baik dan ada yang mendapatkan kabar bahwa harus mencoba lagi dan tetap semangat. Kini dirimu semakin takut untuk melihat di pengumuman online.

Temanmu sudah menanyakan bagaimana hasilnya. Namun, kamu belum membuka dan mengeceknya. Lalu, berkata kepada temanmu, akan langsung memberitahu ketika sudah berani untuk melihatnya.

Di malam hari, kamu memberanikan diri untuk membuka pengumuman itu. Kamu mulai memasukkan nomor ujian di portal, satu persatu angka kamu masukkan. Setelah itu, kamu mengklik enter.

Saat itu kamu meyakinkan dirimu, bahwa apapun hasilnya nanti kamu harus terima dengan lapang dada. Jika diterima alhamdulillah, dan apabila belum diterima berarti belum rezeki. Setelah klik enter, muncullah namamu di layar. 

Dan hasilnya menyatakan….. Selamat! Anda dinyatakan lulus seleksi SBMPTN LTMPT di Universitas Islam Negeri Jakarta dengan program studi Bahasa dan Sastra Inggris. Melihat pengumuman itu dirimu langsung lemas tak berdaya, tidak percaya, senang, sedih, bahagia, semuanya campur aduk. Akhirnya penantian kamu selama satu tahun terbayarkan sesuai dengan keinginanmu.