Oleh: Risma Kholiq
Penjelasan Singkat
Tentang Lenong
Sebelum
masuk ke pembahasan inti mengenai kisah perjalanan hidup pemimpin Lenong
Mustika Malam, saya akan menjelaskan terlebih dahulu tentang: Apa itu lenong?
Bagaimana Sejarah lenong di Indonesia dan bisa sampai ke Jakarta khususnya
daerah Betawi?
Apa
itu lenong? Lenong adalah kesenian sandiwara budaya Betawa dengan perpaduan
antara gambang kromong dan lawakan.
Bagaimana
sejarah lenong di Indonesia dan bisa sampai ke Jakarta khususnya daerah Betawi?
Lenong mulai berkembang pada abad ke-19 atau abad ke-20. Pembawa lenong pertama
kali itu seorang pedagang China, bernama Lien Ong. Karena orang Betawi
nyebutnya singkat jadi “Lenong”.
Kemudian,
masuk ke budaya Betawi sekitar tahun 1921. “Kalau tidak salah, seinget saya
lenong itu mulai ada panggilan dari orang-orang pada tahun 1974,” ujar Bang
Mad.
Lenong
Betawi terbagi menjadi dua, yaitu lenong denes dan lenong jago/preman. Lenong
denes terdapat salam sampurna, menggunakan bahasa Melayu tinggi, menggunakan
baju denes (formal/kerajaan), dan alat musik pengiringnya itu gambang kromong
dungdungpor/boksen.
Sedangkan
lenong jago/preman itu menggunakan bahasa sehari-hari, bajunya menggunakan
pangsi (laki-laki) dan kebaya (perempuan), serta untuk alat musiknya itu
memakai gambang kromong modern.
Untuk
gambang kromong modern itu saat ini sudah ada tambahannya, yaitu bass,
orgen/keyboard, dan gitar, contohnya lagu Benyamin. Sedangkan gambang kromong
aslinya/klasik itu terdiri dari gambang, kromong, tehyan, gendang, gong,
kecrek, kempur, piston, dan klenengan. Lalu, untuk silatnya itu lenong terdiri
dari beksi, cingkrik, dan jalan enam pengasinan.
Kenapa
lenong selalu dikaitkan dengan gambang kromong? Karena, itu sudah bagian
terpenting dan tidak asal musiknya.
Bedanya
lenong sama topeng adalah lenong menceritakan jawara, jagoan, pembunuhan, dan
perampokan. Kemudian, yang keluar pertama itu jago yang membawa golok.
Sedangkan topeng menceritakan kehidupan rumah tangga seperti kehidupan orang
kaya dan orang miskin. Lalu, yang keluar pertamanya itu tari topeng.
Selain
itu, perbedaan juga terdapat pada musiknya. Topeng lebih ke Sunda dan lenong
diiringi gambang kromong. Dan untuk bayarannya sendiri antara lenong dan topeng
itu tergantung sama harga pasarnya, bisa lenong yang lebih mahal ataupun
sebaliknya.
Perkembangan
Lenong Pada Masa Kini
“Terus,
kalau sekarang dikatakan lenong itu sudah redup dan penontonnya menurun, itu
salah. Sebenarnya itu hanya terkendala pada lokasi atau tempat. Kenapa? Karena
memiliki lahan yang luas, sehingga zaman dulu masyarakat Betawi kalau hajatan
pasti nampilin lenong atau topeng bagi orang yang mampu,” ujar Bang Mad.
Untuk
lenong sendiri itu, membutuhkan panggung yang besar ukuran 10 x 12 meter, jadi
ukuran 120 meter itu hanya untuk panggungnya saja (untuk ukuran normalnya).
“Dan
untuk kendalanya sekarang itu lahan di DKI yang sempit, bukannya orang di DKI
itu tidak hobi dengan lenong. Saya yakin, pasti mereka hobi. Contohnya, waktu
saya hajatan membludak yang nonton,” jelas Bang Mad.
Menurut pendapat Bang Mad, dengan adanya perkampungan budaya Betawi di Setu Babakan, menjadi solusi untuk masa depan agar lenong dan budaya Betawi lainnya tidak punah atau mengalami penurunan.
Perjalanan
Bang Mad Mendirikan Lenong Mustika Malam
Perjalanan
hidup pemimpin Lenong Mustika Malam yang akan saya ceritakan bernama Ahmad
Maulana atau biasa dipanggil dengan sebutan Bang Mad. Awal mula Bang Mad
menjadi pemain lenong bahkan sekarang sudah menjadi pemimpin lenong merupakan
perjalanan yang tidak mudah dan tidak sesingkat yang dibayangkan.
Bang
Mad ini sebelumnya memang sudah mempunyai hobi atau senang terhadap lenong
sedari duduk di bangku sekolah dasar (SD). Saat itu, Bang Mad menggunakan tali
pramuka untuk diikatkan di kepala hingga coret-coret muka untuk berperan
sebagai pemain lenong karena hobi dan rasa sukanya terhadap lenong.
Namun,
pada saat itu untuk menggelutinya di kesenian lenong ini, terkendala pada restu
orang tua, sehingga tertunda terus-menerus hingga Bang Mad tumbuh dewasa sampai
saat ini. Meskipun begitu, Bang Mad tetap ikut serta atau menghadiri kesenian
lenong di mana pun itu acaranya, selama masih di daerah DKI Jakarta sekitaran
Srengseng Sawah, Jagakarsa, Ciganjur, dan Cipedak.
Pada
saat itu Bang Mad sulit untuk menggeluti lenong, karena anggapan orang tuanya
yang kolot terhadap kesenian lenong. Sebab apa yang dihasilkan dari panjak
(pemain lenong) ditakutkan tidak bisa membiayai kehidupan istri dan
anak-anaknya Bang Mad.
Jadi,
awalnya orang tua Bang Mad tidak merestui jika bekerja sebagai panjak. Dari SD,
SMP, SMA, bahkan sampai berumah tangga pun belum diizinkan. Namun, dua minggu
sebelum almarhumah Bu Haji (orang tua Bang Mad) meninggal dunia, barulah
memberi restu.
“Mad,
kalau lu mau jadi pemain lenong silakan, Mak izinin. Kalau misalnya lu punya
rezeki, ketika lu ngawinin anak lu atau nyunatin cucu lu, lu panggil tuh si
Ocid,” ucap almarhumah Bu Haji.
Namun,
Bang Mad bingung jawabnya. Sebab untuk mengundang Ocid itu tidak murah,
sehingga merasa yakin dan tidak yakin untuk mewujudkannya.
“Awalnya
saya gak yakin dan gak akan mampu manggil Ocid. yang tiga orang aja bisa
mencapai 40 juta,” ucap Bang Mad.
Tapi,
almarhumah Bu Haji meyakinkan Bang Mad kalau dia pasti mampu dengan nawaitu
(dengan niat), apalagi kalau sampai punya lenong sendiri dan bisa memimpin.
Itulah pesan almarhumah kepada Bang Mad.
Setelah
mendapat restu dari orang tua, untuk proses mendirikan lenong ini tidaklah
cepat dan membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk mewujudkannya. Prosesnya itu bermula
dari datangnya utusan seorang cucu pendiri lenong Jagakarsa, Kong Jumin.
“Bang
lenong engkong angkat lagi,” ucap cucu Kong Jumin. Tapi, permohonan tersebut
belum Bang Mad jawab, karena tidak berani. Singkat cerita, tahun 2016 Bang Mad
manggil lenong.
Pada
saat itu, Haji Malih Tongtong juga berpesan “Mad, gua turun dari panggung lu,
tolong lu bentuk lenong, lu angkat lagi benderanya Kong Jumin”.
“Gak
bisa saya Baba Haji (panggilan Bang Mad ke Haji Malih Tongtong),” jawab Bang
Mad.
“Lu
bisa, lu pasti bisa dengan cara apa pun. Bismillah,” saut Baba Haji.
Berjalannya
waktu setelah percakapan itu, kurang dari satu tahun, Bang Mad mulai kepikiran,
“Oh iya ya, siapa lagi yang angkat budaya Betawi kalau bukan kita-kita,”
ucapnya dalam hati. Walaupun saat ini umur Bang Mad sudah tidak muda lagi.
Akhirnya,
berdirilah. Satu grup bekerja sama dengan wakil Bang Mad orang Tajur Halang dan
berdirilah grup dengan nama “Mustika Malam”. Itu pun tidak sekoyong-koyong Bang
Mad bilang kalau dia punya lenong. Tapi, Bang Mad izin terlebih dahulu kepada
keluarga almarhum Kong Jumin dan laporan ke Baba Haji Malih.
Mereka
pun mendukung, saling merangkul satu sama lain hingga menjalin kerja sama.
Kemudian, Bang Mad mendapat pesan dari almarhum Haji Nirin Kumpul (bapaknya
Bang Ocid)
“Mad,
seandainya lu jadi pimpinan lenong, utamain panjak lu,” ujar almarhum Haji
Nirin.
“Lah,
maksud Baba Haji begimana?” jawab Bang Mad bingung.
“Lebih
baik lu yang ribut ama bini, daripada panjak lu yang ribut ama bininya masalah
bayaran. Lebih baik panjak lu bayarannya cukup, lu cuma rokok sebungkus. Kalau
lu ribut ama bini, lenong lu besok masih bisa maen. Tapi kalau panjak lu yang ribut
dan benci sama lu, lenong lu gak bakal jalan,” saut sekaligus pesan almarhum
Haji Nirin Kumpul.
Selain
itu, almarhum Haji Nirin juga bilang kalau lenong untuk saat ini cukup
terkendala. Maksudnya bagaimana? Yaitu terkendala pada generasi muda yang sulit
untuk diajak berkontribusi dalam melestarikan budaya Betawi ini, terutama di
daerah Jakarta Selatan.
Namun,
terdapat pula beberapa daerah yang masih banyak peminat dari generasi mudanya
untuk mengangkat kembali budaya Betawi, yaitu Jakarta Timur dan Tangerang
(untuk bagian kulonnya).
Pada
lenong Bang Mad pun untuk panjaknya mengambil dari luar, bukan warga asli atau
pribumi daerah Jakarta Selatan.
Lenong
Bang Mad “Mustika Malam” resmi berdiri pada tanggal 16 Desember 2016. Awal
minat Bang Mad terhadap lenong ini adalah adanya rasa senang saat melihat orang
berantem (atau sering disebut dengan jago) di penampilan lenong. Tidak hanya di
situ saja, di rumah pun Bang Mad juga mempraktekkan kembali dan latihan
bagaimana gerakan tangannya saat berantem dan sebagainya.
Saat
duduk di kelas 5 SD, Bang Mad sudah belajar bela diri, namun bukan untuk seni
seperti lenong. Tapi, untuk jaga diri (atau yang disebut ilmu pukul) dan isi
badan. Sehingga pada zaman dahulu Bang Mad tidak takut dengan air keras dan
golok, karena memang saat ujiannya juga seperti itu.
Ujiannya
pun cukup ekstrim seperti makan kepala dan kaki ayam mentah. Sebab dipercaya
tujuan dari ujian itu sendiri adalah petama, jika makan kepala ayam mentah,
apabila suatu saat ketemu musuh, sudah tau gerakan pukul mereka ke arah mana.
Kedua, jika makan kaki ayam mentah, dapat mengetahui ke mana arah gerakan kaki
musuh. Sebab secara tidak langsung sudah tersugesti dan memiliki
ketersambungan.
Jadi,
Bang Mad awalnya belajar bela diri itu untuk menjaga dirinya bukan untuk seni
seperti, beksi, cingkrik, jalan enam pengasinan, dan seliwa yang betul-betul
untuk seni yang tampil di lenong. Beda dengan al-Hikmah, belut putih, dan macan
putih itu tidak bisa tampil di lenong karena beda ilmu yang dipelajarinya.
Maka
dari itu, Bang Mad mendirikan sanggar yang dinamakan “Beksi Combinasi” yang bertempatan
di Beji, gang Nangka, belakang polsek. Beksi Combinasi ini merupakan perpaduan
antara seluruh unsur seperti beksi, seliwa, jalan enam pengasinan, dan
cingkrik. Jadi, jika suatu saat kekurangan orang di panggung, dapat terpenuhi.
Beksi
Combinasi ini diberi nama oleh teman Bang Mad yang berperan sebagai guru di
sanggar tersebut sekaligus wakil lenong Mustika Malam. Dan untuk guru besarnya
itu ada di Tajur Halang.
Kehidupan
Bang Mad stabil setelah tahun 2016 atau seusai masa mendirikan grup kesenian
lenong Mustika Malam, jadi tidak naik dan tidak juga turun. Akan tetapi, pada
tahun 2020 terbentur dan mengalami penurunan akibat munculnya Covid-19. Sebab
tidak ada panggilan sama sekali dan tidak diizinkan untuk tampil.
“Cuman,
lenong kita ini berbeda dengan lenong-lenong yang sudah ngetop. Misalnya,
lenong Bang Ocid yang bernama “Subur Jaya”, itu seminggu bisa 3-4 kali tampil
dan termasuk lenong termahal di Jakarta. Karena kita lenong kampung atau baru
naik jadi otomatis kita nunggu sisanya aja,” ucap Bang Mad.
Walaupun
demikian, lenong Bang Mad ini tetap berjalan dan saling bekerja sama dengan
lenong Bang Ocid.
Kemudian,
penamaan lenong “Mustika Malam” ini berawal dari lenong Kong Jumin bernama
“Sinar Malam” yang sudah vakum. Lalu, sebagai anak buah pada mendirikan
lenongnya masing-masing. Nisam mengambil kata sinar, menjadi “Sinar Fajar”.
Sedangkan Bang Mad mengambil kata malam, menjadi “Mustika Malam”. Penamaan
tersebut dibuat agar tidak menghilangkan nama lenong asalnya yaitu milik Kong
Jumin.
Lalu,
kata “Mustika” itu sendiri berasal dari batu permata yang benar-benar bagus.
Jadi, “Mustika Malam” berarti batu permata yang indah dan bersinar di malam
hari. Penamaannya itu juga tidak boleh sembarangan dan harus memiliki arti yang
bermakna.
Sedangkan
untuk peralatan lenong Mustika Malam itu bekerja sama dengan grup lenong dari
“Sinar Fajar” dan “Bunga Cempedak”. Tujuannya adalah agar tali silaturahmi
antar grup lenong ini tidak putus dan saling berkesinambungan satu sama lain.
Atau kalau kata orang Betawi, rezeki itu jangan dimakan sendiri.
Lalu,
untuk jumlah pemain “Mustika Malam” Bang Mad kurang lebih berjumlah 38 orang.
Akan tetapi, pada saat tampil di suatu terkadang terdapat tamu tak terduga dari
grup lenong lain. Jadi, Bang Mad sebagai pimpinan harus menyediakan uang tak
terduga, jaga-jaga hal tersebut terjadi.
“Menjadi
seorang panjak itu harus dapat menguasai banyak hal, mulai dari suara atau cara
bicara yang bisa berubah-ubah, bermain golok, pantun, dan lain sebagainya,”
saran Bang Mad.
“Awalnya
saya juga tidak bisa suaranya berubah-ubah. Namun, semenjak almarhumah Bu Haji
memberikan izin atau restu, dengan sendirinya saya bisa mengubah suara sesuai
dengan panjak yang dilakonin. Begitupun pantun, juga belajar secara otodidak.
Saat di panggung pun saya secara spontan menanggapi pantun dari partner, tapi
dengan syarat saya harus dipancing dahulu untuk memulainya agar bisa nyambung
terus-terusan gitu,” lanjut Bang Mad.
Dalam
proses merekrut pemain lenong baru atau yang masih pemula itu dilakukan di
sanggar dan di tes kemampuannya, lebih condong ke arah mana dengan dipasangkan
bersama lawan mainnya atau partner mainnya nanti.
Jadi,
kalau suatu saat nanti tampil di panggung partnernya itu sama seperti pada saat
tes. Sehingga ada kecocokan main di antara keduanya dan tau arah gerakan tangan
serta kakinya agar sinkron satu sama lain.
Selain
itu, dalam proses belajar untuk pemain lenong baru itu pasti mengalami demam
panggung, jadi harus disupport bukannya dimarahin. Sebab akan membuat mereka
menjadi down dan tidak mau berlatih lagi.
Oleh
sebab itu, sebagai pimpinan Bang Mad menyarankan harus memiliki kesabaran yang
mendalam saat mendidiknya, merangkul satu sama lain, mengajarkan apabila
terjadi kesalahan, dan masih banyak yang lainnya. Lalu, dalam pemilihan posisi
pemain juga harus sesuai dengan karakternya dan muka si pemain, sehingga bagus
dilihatnya.
Kemudian,
untuk permainan golok saat tampil itu, latihannya menggunakan golok bambu atau
kayu yang dari kotak jeruk. Tentunya diimbangi dengan berlatih dengan rajin,
baru lambat laun menggunakan golok asli.
Di
kesenian lenong sendiri juga memiliki sutradara untuk mengatur lakon pemainnya
dan durasi selama tampil di panggung. Untuk mengatasi lupa atau ngeblank saat
di panggung itu caranya dengan menggunakan mimik pura-pura bego, padahal
aslinya itu sedang mikir dialog apa selanjutnya. Hal itu dilakukan guna
menyamarkan rasa gugup dan terlihat natural.
Tantangan
Bang Mad selama menjadi pemain lenong itu banyak, yaitu tantangan sesama grup,
suasana tempat, iklim, dan lain sebagainya. Contohnya, tiba-tiba saat mau
tampil hujan, mau tidak mau supaya profesional tetap berangkat dan tidak bisa
dibatalkan.
Selanjutnya,
saat tampil tidak selamanya satu hati dengan partner, baik itu ada rasa kesal,
benci, jika tuan rumahnya ingin dia yang main maka sebagai lawan mainnya harus
terima dan bersikap profesional. Jadi, dalam kondisi apapun itu, tantangan yang
dihadapi harus tetap dijalani tanpa rasa ngeluh dan sebagainya.
Sedangkan
tantangan sebagai pemimpin lenong itu meliputi, kekurangan panjak (pemain) yang
tiba-tiba dibatalin, bayaran yang sering telat padahal acaranya sudah selesai,
tempatnya yang sempit, tuan rumah yang tidak siap sedia akan keperluan lenong
selain bayaran utama, misalnya rokok, minum, dan lainnya.
Lenong
Bang Mad untuk tahun ini 0 atau tidak ada panggilan sama sekali, karena lagi
sibuk untuk proyek. Tapi, kalau untuk panggilan pribadi itu banyak. Dan itu
tidak diambil semua panggilannya dalam seminggu hanya 1 kali main atau tampil.
Masa
jaya lenong Bang Mad ini pada tahun 2017-2019. Setelah adanya Covid-19 lenong
“Mustika Malam” ini kian mengalami penurunan. Hanya dapat penghasilan dari
menyewakan gambang kromong dan penyanyinya saja.
Untuk
harga manggil atau sewa grup lenong ini berbeda antara di DKI Jakarta dengan di
Jawa Barat. Di Jawa Barat cenderung lebih murah, 20 juta sudah bisa tampil atau
sewa. Sedangkan lenong di DKI Jakarta itu cukup mahal, yaitu sebesar 40-50
juta. Sebab, untuk bayaran panjaknya itu di DKI Jakarta seorang bisa mendapat
Rp 300.000 – Rp 400.000. Sedangkan di Jawa Barat hanya Rp 100.000 – Rp 150.000
per panjak. Belum lagi peralatan, transportasi, uang rokok, tenda, dan lain
sebagainya.
Jika
ada yang berminat untuk sewa/manggil lenong Mustika Malam, tempatnya di gang
Setu Babakan, No. 100 RT 11/RW 08, Kecamatan Jagakarsa, Kelurahan Srengseng
Sawah. Lalu, untuk nomor telepon yang dapat dihubungi 0859-6060-2519, yang
memimpin itu adalah Babeh Ahmad Maulana (Bang Mad). Dan sanggar lenong Mustika
Malam ini memiliki prinsip/moto “Tontonan Jadi Tuntunan”.
0 Comments
Post a Comment